Live simply, Love generously, Care deeply, Speak kindly, Leave the rest to God

Sabtu, 20 November 2010

Kesetia kawanan (Bencana Alam)

Nama : Revi Wulandari
NPM : 12609348
KELAS : 2 SA 02
TUGAS : ILMU SOSIAL DASAR

Kesetia kawanan (Bencana Alam)

Gunung Merapi adalah anugerah bagi para penduduk yang tinggal di sekitarnya. Mereka lahir, hidup, besar bahkan menutup mata pun bersama kemegahan Merapi. Merapi merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar, meski mereka juga sadar dibalik kemegahan tersebut menyimpan energi “peringatan” yang sesekali terletup. Merapi adalah lambang ketegaran, meskipun sudah meletus berkali tak berkurang sedikitpun ketegerannya. Ia tetap berwibawa meski saat ini puncaknya dipenuhi awan panas yang membubung tinggi.

Telah banyak jatuh korban sepanjang sejarah letusan Merapi, namun sampai kapanpun tetap dicintai masyarakat sekitarnya. Tak terdengar satupun niat dari para penduduk Merapi untuk meninggalkan gunung paling aktif itu untuk selamanya. Selama apapun berada di pengungsian, hancur lebur sudah desa mereka oleh keganasannya, tetap saja mereka akan kembali ke Merapi.

Para orang tua tak perlu merasa harus mewariskan kecintaan terhadap Merapi kepada anak-anak, cucu dan semua keturunan mereka. Karena anak-anak pun telah begitu dekat dengan Merapi semenjak mereka baru mengenal dunia ini. Sejak terlahir ke dunia, selain wajah kedua orang tuanya, maka wajah dan kewibawaan Merapilah yang terlebih dulu mereka kenal. Mereka bermain, bercengkerama atau membantu Ayahnya mencari pakan ternak di Merapi, seolah Merapi tak pernah mengancam sedikitpun. Ya, bagi para penduduk yang tinggal di sekitarnya, Merapi adalah sahabat mereka. Sahabat tak pernah mengancam, sahabat tak menakutkan, sahabat juga selalu melindungi.

Disaat Merapi tengah aktif dan sudah berkali-kali meletus mengeluarkan awan panas sejak 26 Oktober 2010 yang lalu, penduduk dan juga anak-anak Merapi hanya menganggap Merapi sedang tak bersahabat. Ibarat sebuah persahabatan, kadang dihiasi perselisihan atau pertengkaran, kadang memerlukan waktu cukup lama untuk kembali rujuk dan bersahabat kembali dengan damai. Kadang pula cukup waktu sesaat saja, kemudian bisa bercengkerama kembali. Sehebat apapun letusan Merapi yang pernah meluluhlantakkan tempat tinggal dan segala kenangan serta harapan mereka, tetap saja mereka akan kembali ke Merapi dan memulai kehidupan baru bersama sang sahabat yang tetap berdiri tegak itu.

Kecintaan anak-anak terhadap sahabat “besar”nya itu tergambar dari lukisan yang mereka buat tatkala relawan-relawan 1001buku yang bekerja sama dengan ACT – Aksi Cepat Tanggap serta Yayasan Sahabat Peduli Generasi Mandiri (YSPGM) menyambangi posko pengungsian di Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Jogjakarta. Boleh dibilang seratus persen anak-anak menggambar gunung Merapi saat diminta untuk menggambar apa saja yang mereka inginkan. Lukisan Merapinya berbeda-beda, ada sebagian anak yang menggambarkan keindahan Merapi dengan matahari bersinar terang, warna badan gunung kebiruan dan awan biru yang cantik. Ada yang melengkapi Merapi dengan beberapa burung yang terbang mengitari puncak gunung, pertanda sang Merapi tengah bersahabat. Namun, lebih banyak anak-anak yang melukiskan Merapi seperti apa yang mereka lihat dan rasakan saat ini.

Merapi digambarkan tengah meletus, mengeluarkan awan panas kehitaman. Ada yang melukis puncak Merapi dengan warna merah api tatkala mengeluarkan lava pijar. Bahkan ada beberapa anak yang menggambar Merapi dengan garis gunung yang kacau tak beraturan, juga dengan awan panas yang membubung, menyebar ke segala arah. Warna yang dipilihnya pun hanya satu, hitam. Seorang anak melukis badan gunung dengan pensil warna hitam dengan arsiran warna tak beraturan.

Bisa dipahami, sebagian anak-anak sahabat Merapi itu mungkin mengalami trauma dengan terjadinya letusan Merapi yang hingga kini belum jelas sampai kapan akan berakhir. Mereka kerap berpindah dari satu posko pengungsian ke posko yang lain. Belum lagi kondisi jiwa yang terkaget-kaget dan adrenalis terpacu tatkala harus dibawa berlari oleh orang tuanya ketika terjadi erupsi, tak peduli saat itu ia tengah tertidur lelap berhias mimpi indah bercengkerama bersama sahabat Merapinya.

Ada anak yang bertanya, “Apakah Merapi sedang marah? Pasti ada sebabnya kan? Siapa yang berbuat salah sehingga Merapi marah?...” pertanyaan yang sulit dijawab, entah siapa yang harus menjawab pertanyaannya. Setidaknya lukisan tentang letusan Merapi lengkap dengan awan panasnya itu cukup menggambarkan perasaan yang berkecamuk di dadanya, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan, “sampai kapan terus begini?” “akankan saya bisa sekolah lagi?”, “dimana kami tinggal setelah ini?” atau pertanyaan yang berdimensi ilahiah, “Tuhan, kenapa Merapi meletus?” “Apa salah kami?”

Adapun anak-anak yang menggambarkan keindahan Merapi dengan kehangatan sinar mentari serta burung-burung yang mengitari puncaknya, adalah sebuah harapan untuk melihat kembali kecantikan, keindahan dan kemegahan Merapi. Mereka ingin Merapi, sahabat mereka, kembali sejuk seperti sedia kala, sesejuk saat pertama kali mereka mengenalnya dulu. Mereka punya mimpi indah, bisa kembali bermain di tubuh besar sahabatnya itu, tanpa rasa takut, tanpa ancaman, penuh kedamaian. Mereka pun bertanya, “Akankan Merapiku kembali seperti dulu?”

Merapi adalah sahabat mereka. Cintanya kepada Merapi yang membuatnya terus bertahan saat ini di posko pengungsian. Tak peduli mereka akan bertahan berapa lama lagi, yang pasti mereka hanya punya satu tujuan kembali, kepada sahabat besarnya itu. Mereka tahu sahabatnya kini sedang marah, meski mereka pun tak pernah tahu apa sebab kemarahan itu dan kepada siapa sebenarnya amarah sang sahabat itu ditujukan. Mereka hanya percaya, sahabatnya akan kembali seperti sedia kala, seperti halnya mereka yang setia pada ikatan persahabatan untuk kembali lagi setelah sang sahabat tak lagi menebar ancaman.

SOURCE : Article by Bayu Gawtama